Pertempuran Laut Pertama
Pertempuran Fancheng terjadi antara panglima perang Liu Bei dan Cao Cao pada tahun 219 di akhir Dinasti Han Timur. Pertempuran ini dinamakan sama dengan Fancheng (樊城; juga dikenal sebagai Benteng Fan atau Kota Fan), sebuah benteng kuno yang terletak di Fancheng Kabupaten, Xiangyang, Hubei.
Pada Oktober 218, jenderal di pihak Cao Cao, Hou Yin (侯音), beserta Wakil Jenderal Wei Kai (衛開) dari Wan (宛; kini Nanyang, Henan), memberontak dengan ribuan pasukan dan meminta bantuan Guan Yu.[1] Empat bulan dihabiskan oleh Cao Ren untuk menghancurkan pemberontakan dengan membunuh Hou Yin dan Wei Kai sementara Guan Yu sama sekali tidak menanggapi pemberontak. Setelah merebut Hanzhong dengan mengalahkan Cao Cao pada Mei 219, Liu Bei memperluas kekuasaannya pada bulan Juni 219 dengan mengirimkan Meng Da dan Liu Feng untuk mengambil alih Fangling (房陵; kini Wilayah Fang, Hubei) dan Shangyong (上庸; utara dari Wilayah Zhushan, Hubei di masa kini). Dalam kurun waktu ini, Cao Cao pun terpaksa untuk bertahan setelah kemunduran yang terus-menerus dan Sun Quan dari Jiangdong memutuskan untuk mengambil kesempatan menyerang Cao Cao sementara pasukannya yang baru kalah kembali berkumpul dan beristirahat.
Menyadari serangan yang pasti datangnya dari Liu Bei dan Sun Quan, Cao Cao berencana untuk meluncurkan serangan pendahuluan terhadap Provinsi Jing (荊州; meliputi Hubei dan Hunan masa kini), bagian timur wilayah Liu Bei yang dipertahankan oleh Guan Yu. Rencana tersebut menyebabkan Liu Bei tidak bisa melanjutkan serangan di utara karena harus mengkonsolidasi apa yang baru saja ia peroleh, dan serangan terhadap Provinsi Jing pun tidak akan terhalang karena invasi Liu di tempat lain. Namun, rencana itu dibatalkan karena pasukan Cao Cao masih memerlukan waktu untuk pulih, berkumpul kembali dan membekali diri setelah penekanan pemberontakan Hou Yin dan Wei Kai, serta kemunduran dalam perjuangan Hanzhong yang sebelumnya. Pasukan yang babak belur ini belum siap untuk operasi militer lainnya.
Pada Juli 219, Sun Quan memobilisasi pasukannya dalam persiapan untuk menyerang Hefei, dan pasukan Cao Cao didistribusikan ke daerah selatan Sungai Huai untuk menangkis kemungkinan serangan. Mendapat kesempatan, Guan Yu memutuskan untuk meluncurkan serangannya sendiri melawan Cao Cao. Mi Fang, administrator Komando Nan (南郡; kini Wilayah Jiangling, Hubei) diperintahkan untuk tinggal di belakang untuk menjaga Jiangling (江陵) Kota Komando Nan, sementara Jenderal Shi Ren diperintahkan untuk menjaga Gong'an (公安; barat laut Wilayah Gong'an masa sekarang, Hubei). Kekuatan utama Liu Bei di wilayah itu dipimpin oleh Guan Yu sendiri dan digunakan untuk menyerang benteng-benteng Cao Cao di utara.
Tujuan operasi ini tidak dinyatakan dengan jelas; Guan Yu memimpin pasukannya sepanjang Sungai Han ke arah utara sampai ia mengepung Fancheng (sekarang Fancheng Distrik Xiangyang, Hubei). Berdasarkan rute tersebut dan fakta bahwa Guan memilih untuk mengkonsentrasikan pasukan utamanya di Fancheng, tujuan utamanya diyakini adalah penaklukan Komando Nanyang. Awalnya, kota-kota yang diserang tidak dijaga ketat karena Cao Ren di Fancheng dan Lu Chang (呂常) di Xiangyang (襄陽; kini Xiangzhou Distrik Xiangyang, Hubei) telah dikepung. Maka, Cao Cao memerintahkan Yu Jin untuk membantu Cao Ren. Setelah mendirikan pangkalan di dataran rendah sekitar empat km di utara Fancheng, Yu Jin mulai mempersiapkan serangan balasan. Bersemangat untuk membuktikan kesetiaannya karena ia dicurigai oleh yang lain, Jenderal Pang De bersukarela memimpin pasukan untuk menghadapi Guan Yu, berhasil memaksanya mundur beberapa kali. Pada satu kesempatan, Pang De menembak panah yang tertanam di helm Guan Yu. Sejak itulah Pang De dikenal luas dan ditakuti oleh musuh sebagai Jenderal Kuda Putih, karena kuda putih yang ia tunggangi selama pertempuran.
Meskipun Guan Yu tidak bisa melewati Pang De dalam pertempuran, ia tetap memegang kontrol yang kuat atas rute air di area sekitar dan mempertahankan pengepungan Fancheng. Beberapa kemunduran jauh dari cukup untuk mematahkan tekad Guan Yu.
Pada bulan Agustus, hujan lebat menyebabkan Sungai Han meluap. Pasukan di bawah komando Yu Jin dan Pang De disapu bersih oleh bencana alam, setidaknya terdapat 40.000 kematian sementara 30.000 lainnya ditahan oleh angkatan laut Guan Yu. Pang De dan Yu Jin ditangkap; Yu memohon ampun untuk tetap hidup dan mundur, Pang menolak menyerah dan dieksekusi. Cao Ren, bersama ribuan pasukannya yang selamat terpaksa bertahan di balik benteng. Pada saat itu, Xu Huang, yang ditempatkan di Wancheng dengan pasukan yang murni baru direkrut, hanya mampu menset benteng bertahan, bukannya keluar dan membebaskan Cao Ren. Merasakan bahwa arus berganti, Inspector Provonsi Jing (posisi yang memiliki wewenang untuk meningkatkan pasukan dari seluruh Provinsi Jing[2]) Hu Xiu (胡修), dan Administrator Kota Nan Cao Cao (Kota Nan berlokasi di tenggara Wilayah Xichuan sekarang, Henan) Fu Fang (傅方) beralih pihak ke Guan Yu. Pimpinan pemberontak Liang (梁), Xia (郟), dan Luhun (陸渾, tenggara Wilayah Song sekarang, Henan) juga secara resmi menerima perintah Guan Yu.
Ancaman Guan Yu untuk Cao Cao setelah kesuksesan dininya sangat besar sehingga Cao Cao pernah bermaksud memindahkan ibu kota. Ketika Cao Cao meminta masukan dari penasihatnya, Sima Yi dan Jiang Ji (蔣濟) betul-betul keberatan. Mereka mengungkit bahwa persekutuan antara Liu Bei dan Sun Quan rapuh karena perseteruan mengenai kuasa atas Provinsi Jing dan Sun Quan pasti tidak akan senang atas kesuksesan Guan Yu. Mereka menyarankan agar Cao Cao mengirim utusan ke Sun Quan untuk menyodorkan Jiangnan jika Sun Quan setuju menusuk punggung Guan Yu.
Awalnya, Sun Quan mengirimkan utusan ke Guan Yu menyinggung keinginannya untuk menikahkan putranya sendiri dengan putri Guan. Namun, Guan Yu menghina utusan tersebut dan menolak proposal pernikahan itu, memancing kemarahan Sun Quan, sekutu yang tidak mungkin Liu Bei lepas. Kemenangan di awal juga terbukti merupakan pendahuluan dari malapetaka bagi Guan Yu yang dibuat terlalu percaya diri. Guan Yu kekurangan pengalaman dalam memegang bala tentara yang besar, terutama yang sebesar bawahannya kala itu, di mana pasukannya nyaris dua kali lipat semula karena 30.000 pasukan yang ditahan dari kemenangan sebelumnya masuk ke bala tentaranya. Untuk memberi makan pasukannya, Guan Yu menyuruh sekelompok di antaranya mengambil alih, dengan paksa, lumbung Sun Quan di perbatasan wilayah setempat. Perkara ini menambah marah Sun Quan sesudah penghinaan dan penolakan Guan Yu terhadap proposal pernikahan Sun Quan. Ia pun membulatkan tekad untuk memutuskan persekutuan dengan Liu Bei. Pada saat pecahnya peperangan, Liu Bei mengkontrol tiga komando Provinsi Jing: Nan, Lingling, dan Wuling, terkuat di antara ketiga kekuatan.
Setelah merebut persediaan pangan Sun Quan, Guan Yu memerintahkan bala bantuan dari Jiangling dan Gong'an untuk mengepung Fancheng yang tengah banjir. Hanya dengan beberapa ribu pasukan yang tersisa, Cao Ren juga dilanda kekurangan bahan pangan, maka ia hendak menelantarkan kota itu. Meski demikian, Administrator Runan Man Chong meyakinkan Cao Ren untuk tinggal karena banjir hanyalah sementara dan tidak akan lama. Man Chong juga mengingatkan bahwa barisan depan Guan Yu telah maju ke Wilayah Jia (郏) tetapi pasukan utamanya tidak berani ikut karena khawatir dikepung dari belakang pula dan diserbu dari kedua belah sisi. Benteng strategis Fancheng dan Xiangyang masih di tangan Cao Cao, berperan sebagai ancaman serius bagi pasukan musuh manapun yang maju di sekitar kedua kota itu. Man Chong berargumen jika kedua benteng itu dilepas, seluruh daerah selatan Sungai Kuning akan dibahayakan oleh gempuran musuh, sebab tidak hanya wilayah yang Guan Yu serang yang akan hilang, wilayah yang luas di timur juga akan direbut oleh Sun Quan; bila Guan Yu menyerang ke daerah itu, semua pasukan Cao Cao akan tercerai-berai. Man Chong menyimpukan, kedua benteng ini harus dipertahankan apapun yang terjadi hingga titik darah penghabisan. Cao Ren setuju dan memperkuat pertahanan, meningkatkan pasukannya sampai di atas 10.000 dengan memanggil wajib militer semua pria yang ada di sana dan mengumpulkan seluruh tentara miliknya.
Begitu Xu Huang diperintahkan untuk membantu Cao Ren, Cao Cao mengirim dua jenderal, Xu Shang (徐商) dan Lü Jian (呂建) untuk memimpin bantuan lagi menyusul Xu Huang, menyuruhnya tidak menyerang hingga seluruh bala bantuan tiba. Sambil menunggu, Xu Huang menuju Lereng Yangling (陽陵), utara Fancheng. Karena sebagian besar pasukan Cao Cao di bawah Xu Huang terdiri atas rekrutan baru, Xu setia mematuhi perintah Cao Cao untuk menahan serangan. Guan Yu memahami benar situasi Xu Huang, ditambah kepercayaan diri berlebihan atas kemenangan sebelumnya, ia sama sekali mengabaikan ancaman Xu Huang dan membuat kesalahan besar dengan membagi pasukannya dan mengirim pasukan lain ke Xiangyang, salah paham bahwa Fancheng akan dengan mudah jatuh ke tangannya. Namun, karena kekuatan dan keteguhan pertahanan, kota ini masih jauh dari menyerah.
Guan Yu membuat kesalahan strategi lagi dengan membiarkan baris depannya maju terlalu jauh dari pasukan utama dan tidak berhubungan dengan baris depan tersebut padahal ia tidak mampu memisahkan pasukan saat itu. Hasilnya, saat baris depan berada tiga mil dari Fancheng utara, terdapat celah besar di antaranya dengan pasukan utama. Mengambil kesempatan, Xu Huang mengumpan dengan menggali parit panjang, berpura-pura akan memotong baris depan Guan Yu yang tertipu dan mundur.[1] Pasukan Xu Huang kemudian mengambil alih Kota Yan (偃) yang dibuang dan menekan maju ke pasukan utama Guan Yu. Kala itu, kekuatan Xu Huang cukup besar sebagai ancaman terhadap Guan Yu, sebab 10.000 veteran yang kuat karena perang yang dipimpin oleh Yin Shu (殷署) dan Zhu Gai (朱蓋) telah bergabung dengan Xu Huang.
Selama kebuntuan, utusan Cao Cao kembali ke ibu kota Luoyang dengan surat dari Sun Quan, menginformasikan Cao bahwa Sun berencana menyerang Guan Yu dari belakang, Provinsi Jing. Sun Quan meminta Cao Cao menjaga ini sebagai rahasia sehingga Guan Yu lengah dan kebanyakan penasihat Cao Cao menyetujui rencana ini. Walaupun demikian, Dong Zhao keberatan sebab Liu Bei dan Sun Quan adalah musuh Cao Cao meskipun Sun Quan patuh terhadap Cao Cao untuk sementara. Jangka panjangnya, akan lebih baik bagi Cao Cao untuk memperlemah kedua musuh, bukan membuat salah satunya terlampau kuat. Jangka pendeknya, jika Guan Yu mengetahui tusukan dari belakang Sun Quan, ia pasti akan menarik pasukannya untuk memperkuat pangkalan utamanya di Provinsi Jing dan pengepungan Fancheng akan dihentikan. Di samping itu, Fancheng telah dikepung beberapa lama dan semangat juang pasukan Cao Cao sedang lemah. Apabila informasi penting ini tidak diteruskan ke pelaku pertahanan, beberapa di antara yang ada di Fancheng mungkin akan berkhianat terhadap Cao Cao karena kehabisan persediaan pangan. Dan lagi, Dong Zhao memberitahu bahwa bahkan jika Guan Yu sadar akan maksud Sun Quan, ia tidak akan menarik mundur pasukannya secepatnya karena kekeraskepalaannya dan kepercayaanya terhadap pertahanan Jiangling dan Gong'an.
Cao Cao dan yang lain diyakinkan oleh Dong Zhao dan melaksanakan apa yang ia tawarkan dengan persis: salinan surat Sun Quan diikat ke anak panah yang kemudian ditembakkan ke Fancheng dan pangkalan Guan Yu oleh pemanah Xu Huang. Semangat para pasukan yang bertahan meningkat sementara Guan Yu dilanda dilema: ia tidak mau menghentikan serangan terhadap Cao Cao karena ia percaya Jiangling dan Gong'an, pangkalannya di belakang, tidak akan jatuh dengan mudah. Lebih jauh lagi, jika ia (Guan Yu) berhasil mengalahkan pertahanan musuh, Sun Quan tentu akan mengeksploitasi kesempatan menyerang pertahanan Cao Cao yang melemah, bukannya menyerang ketiga komando di bawah Liu Bei, karena Guan Yu memandang bahwa Sun Quan memiliki lebih banyak keuntungan dalam mengambil alih daerah luas di wilayah timur hilir Sungai Yangtze dari Cao Cao daripada memegang ketiga komando Liu Bei. Saat Guan Yu bimbang, Cao Cao sendiri memimpin bala bantuan lainnya ke medan pertempuran, dan telah sampai di Lereng Mo (摩陂; tenggara Wilayah Jia sekarang, Henan).
Sebagian besar tentara Guan Yu bermarkas di Weitou (圍頭) sementara sisanya di Sizhong (四冢). Xu Huang mengumumkan serangan pasti ke Weitou, tetapi ia malah memimpin pasukannya untuk menyerang Sizhong secara tiba-tiba. Takut Pangkalan Sizhong akan lepas, Guan Yu memimpin 5.000 tentara untuk menyelamatkannya. Meski begitu, serangan ke Sizhong umpan belaka; Guan Yu disergap oleh suruhan Xu Huang saat masih di jalan. Guan Yu yang kalah kembali ke markas utamanya sementara pasukan Xu Huang membuntutinya dan menyerbu markas utama Guan, dengan sukses membunuh Hu Xiu dan Fu Fang yang berpindah sisi. Karena pangkalannya digempur oleh musuh, Guan Yu terpaksa menyerah, menghentikan kepungan terhadap Fancheng, dan mundur ke selatan.
Semua komandan garda depan Cao Cao yakin bahwa mereka sebaiknya memanfaatkan situasi dan mengejar Guan Yu, kecuali Penasihat Militer Zhao Yan (趙儼) yang memaparkan bahwa mereka sebaiknya tidak demikian supaya pasukan Guan dibiarkan berperang melawan Sun Quan, memperlemah kedua musuh Cao Cao. Cao Ren setuju dengan Zhao Yan dan tidak memburu Guan Yu. Begitu berita kemunduran Guan Yu sampai ke Cao Cao, ia mengirim utusan ke Cao Ren, melarangnya mengejar karena alasan yang sama.
Ketika Guan Yu kembali ke selatan, ia mengetemukan bahwa pangkalan belakangnya di Jiangling dan Gong'an telah menyerahkan diri kepada Lü Meng, komandan tentara barat Sun Quan. Lü Meng menyandera istri dan anak orang-orang Guan Yu, memperlakukan mereka dan penduduk Provinsi Jing sebaik-baiknya. Tentara Guan Yu, mendengar bahwa Provinsi Jing telah jatuh ke Sun Quan dan keluarga mereka ditangani dengan baik, kehilangan semangat tempur dan pergi.
Guan Yu, dengan pengikut yang sedikit, terisolasi di Maicheng (麥城; tenggara Dangyang sekarang, Hubei) di mana pasukan Sun Quan berada di ketiga sisi dan Cao Cao di utara. Saat Guan Yu mencoba untuk kabur, ia dan pengikutnya yang selamat, termasuk putranya Guan Ping dan Komandan Zhao Lei, ditangkap dalam penyergapan di Kota Zhang (章) (timur Wilayah Anyuan yang sekarang, Hubei) oleh jenderal-jenderal Sun Quan: Zhu Ran dan Pan Zhang. Guan Yu kemudian dieksekusi oleh Sun Quan di Linju (臨沮) bersama Guan Ping dan Zhao Lei.
Operasi militer Guan Yu gagal karena Liu Bei, Zhuge Liang, serta Fa Zheng tidak memberikan dukungan yang cukup untuk Guan Yu (atau tidak dapat), dan Guan memandang tinggi kemampuannya. Guan Yu tidak meminta dukungan dari Yi sampai sudah terlambat. Setelah Guan menangkap Yu Jin, ia sebenarnya sudah bisa mendeklarasikan kemenangan, menyatakan ulang tujuannya sebagai membinasakan pasukan musuh, atau melanjutkan pengepungan Fancheng. Kembali ke Jiangling bukan pilihan buruk untuk Guan karena ia dapat mengkonsolidasi hasil operasi militer dan menghindari risiko dari pertempuran berkepanjangan. Tidak memilih yang lain, Guan melanjutkan pengepungan yang juga merupakan opsi yang masuk akal pada waktu itu jika tidak lama. Walaupun kemenangan di awal ialah karena banjir (bencana alam), semangat juang pasukan pertahanan hancur dan Guan berusaha merogoh keuntungan darinya.
Kesalahan Guan bukanlah melanjutkan pengepungan, melainkan memutuskan ikatan dengan Sun Quan. Di awal operasi, ia mengirim utusan untuk meminta pertolongan Sun, dan nyatanya bala bantuan diberikan meskipun sangat lama sampainya ke medan perang. Guan seharusnya sudah menyadari bahwa ia tidak dipercaya oleh Sun pada waktu itu; bukannya memperkuat persekutuan, ia justru menghina utusan Sun dan menolak lamaran pernikahan, lalu merebut persediaan makanan Sun di perbatasan secara paksa. Dengan ini, Sun sudah wajar kalau membalas. Namun, Guan terlalu percaya diri terhadap menara yang ia tegakkan di dataran tinggi sepanjang Sungai Yangtze untuk memantau pergerakan pasukan Sun. Perbuatannya ini mengakibatkan kehancuran (sebagaimana invasi Lü Meng's terhadap Provinsi Jing), tetapi tidak begitu signifikan untuk Pertempuran Fancheng sebab Guan tidak terpengaruh oleh tusukan Sun di punggungnya (Guan Yu malah mendirikan pertahanan terhadap Xu Huang).
Kesalahan pertama Guan menyangkut operasi ini adalah kesalahpahaman mengenai pengambil alihan Fancheng yang cepat. Ia tidak sadar bahwa banjir itu hanya sementara dan Cao Cao masih dapat mengirimkan unit demi unit bala bantuan jika ia tidak mampu merebut Fancheng dengan sebentar. Terdapat kesalahan strategi yang turut berkontribusi — Guan membagi pasukannya sekurang-kurangnya menjadi tiga: baris depan di Wilayah Jia, pasukan pengepung Xiangyang, dan pasukan utama yang ia sendiri kontrol. Karena itu ia melanggar hukum konsentrasi kekuatan sementara pengepungan di manapun itu akan lebih memakan waktu daripada jika ia mengkonsentrasikan kekuatannya. Lalu, ketika Xu Huang tiba di medan perang dengan tentara tak terlatih nan lemah, Guan seharusnya sudah menghabisi kawan lamanya sebelum Xu bersiap; ia justru memfokuskan diri pada pembangunan benteng dan mencoba meniru apa yang Zhou Yu lakukan di Pertempuran Jiangling. Kesalahan operasi yang terakhir ialah Guan memandang rendah rekan lamanya (mungkin Guan sebenarnya sudah cocok menilai Xu Huang sebab ia tidak begitu terpandang sebelum Pengepungan Fancheng). Di samping mengadakan dua pangkalan, Guan mendirikan sepuluh lapis barikade terhadap pasukan Xu yang kemudian masih memerintahkan penyerangan setelah menerima pasukan elite dan sukses menaklukkan pangkalan-pangkalan Guan.[1]
Ahli sejarah lain memandang Guan dengan empati karena pada pecahnya perang, ia menghadapi dilema akibat hasil yang tidak memuaskan tidak peduli serangan diluncurkan atau tidak. Di barat, meskipun Liu Bei dengan sukses memperoleh benteng yang kuat, Hanzhong, Liu Bei tidak dapat melanjutkan momentumnya karena penduduk Hanzhong secara drastis berkurang sebab 80.000 di antaranya pindah ke wilayah Cao Cao ketika ia mengalahkan Zhang Lu beberapa tahun silam.[3] Walau wilayah Hanzhong masih dihuni populasi yang cukup besar, Liu Bei akan menghadapi kendala logistik bila ia melanjutkan operasi militer terhadap Cao Cao karena ia telah meminta salah satu pejabatnya (Zhang He) untuk memindahkan 50.000 keluarga suku Di ke Provinsi Liang.[4] Menyisihkan platform andalannya ke Guanzhong, Cao menghalangi serangan Liu di utara. Maka, Guan memimpin pasukannya ke utara untuk tetap menekan Cao, pada saat yang sama memberikan Liu waktu untuk mengkonsolidasi perolehannya. Namun, banjir yang tidak diduga mengubah tujuan awal Guan untuk menaklukkan Provinsi Jing utara, yang merupakan tujuan yang membutuhkan bantuan Liu Bei dari barat dan jalan Sun Quan dari timur. Jika Guan Yu tidak melakukan kesalahan dengan memutuskan persekutuan Liu Bei dan Sun Quan, memperkuatnya malah, ia mungkin akan mendapatkan kesempatan untuk memberhasilkan apa yang telah ia mulai.
Rentetan kemenangan Liu Bei akhirnya berakhir setelah sepuluh tahun ia menaklukkan dua provinsi terbesar, merangkul banyak komandan dan penasihat terkenal, dan memperoleh dukungan paling populer sebagai "Raja" Han Zhong. Cao Cao dan Sun Quan takut akan kemenangan berlanjut Liu dan cukup bijak dalam bekerja sama. Meski demikian, yang merupakan pemenang utama dari masalah ini pastinya adalah Sun Quan, tidak hanya merebut bagian besar Provinsi Jing dari Liu Bei dan memenggal Guan Yu (salah satu jenderal paling terkenal), ia juga mengambil alih lebih dari 40.000 pasukan Yu Jin dan Guan Yu; yang paling penting, Sun Quan mengamankan Komando Nan yang sangat vital demi bertahannya rezim Wu Timur di masa depan (waktu yang dibutuhkan untuk pergi dari Provinsi Jing ke Provinsi Yang ke hilir hanya sedikit, jika Provinsi Jing tidak dikuasai sama dengan pengontrol Provinsi Yang, pengontrol Provinsi Yang itu akan menghadapi potensi ancaman dari pihak lain sepanjang waktu). Cao Cao juga mengamankan domainnya di timur laut Provinsi Jing dengan menggagalkan serangan Liu Bei meskipun hampir saja tidak berhasil. Cao Cao pun lebih senang karena persekutuan antara Liu Bei dan Sun Quan berakhir walau Cao Cao meninggal tidak lama setelah pertempuran dan tidak menikmatinya. Liu Bei masih memegang kekuasaan di Jing, utamanya di barat laut meliputi Shangyong, Anyang, dan Xi Cheng.
Dalam novel sejarah Luo Guanzhong: Romance of the Three Kingdoms (Roman Tiga Kerajaan), meluapnya Sungai Han River bukanlah fenomena alam, melainkan rencana Guan Yu. Guan membendung sungai dan membukanya ketika penuh, menenggelamkan pasukan Cao Cao di dataran yang lebih rendah. Peristiwa ini dikenal sebagai Drowning of the Seven Armies (水淹七軍) (Tenggelamnya Tujuh Pasukan). Pang De bertahan dengan teguh dan berusaha kabur dengan berenang tetapi ditangkap oleh rekan Guan Yu, Zhou Cang. Sebaliknya, Yu Jin digambarkan memohon nyawanya diampuni dan menyerah kepada Guan Yu.
Beberapa pekan kemudian, Sun Quan, yang secara sembunyi-sembunyi bersekutu dengan Cao Cao, menyerang pasukan Guan Yu di Jiangling. Sun Quan mengejutkan dan mengalahkan pasukan Guan Yu di sana, memaksanya menghentikan pengepungan terhadap Fancheng dan mundur. Guan Yu dan putranya, Guan Ping, sementara kabur ke Provinsi Yi (meliputi Lembah Sungai Sichuan), ditangkap dan dieksekusi oleh tentara Sun Quan.
Dalam novel, kekuatan Guan Yu sangat dilebihkan demi dramatisasi; contoh yang paling jelasnya adalah seluruh Provinsi Jing di bawah kontrol Liu Bei. Kenyataannya, wilayah itu terbagi menjadi tiga bagian, dikuasai secara terpisah oleh ketiga kubu: Liu Bei memegang yang paling sedikit, baik dari segi populasi dan area, dan hanya mampu menyediakan 25.000 pasukan sekaligus dengan Guan Yu hanya memimpin 15.000 pasukan di permulaan pertempuran. Fakta sejarah penting lainnya yang tidak disebutkan dalam novel termasuk di antaranya adalah Cao Cao yang awalnya hendak menyerang Guan Yu terlebih dahulu tidak dapat melaksanakan rencananya karena harus melumpuhkan pemberontakan terlebih dahulu. Dukungan logistik, faktor kunci lain untuk hasil pertempuran ini pun tidak disinggung dalam novel. Walaupun Guan Yu pada aslinya tentu berhak dihargai atas keberaniannya memimpin pasukan garis depan menyerang musuh yang hampir berkekuatan sepuluh kali lipat juga berhasil memperoleh kemenangan menakjubkan di babak awal, ia terlalu dibesarkan dalam novel karena pengarangnya, Luo Guanzhong, secara pribadi memuja Guan Yu, karakter yang paling dimuliakan dan diagungkan dalam novelnya.
Pada Juli 219, Sun Quan memobilisasi pasukannya dalam persiapan untuk menyerang Hefei, dan pasukan Cao Cao didistribusikan ke daerah selatan Sungai Huai untuk menangkis kemungkinan serangan. Mendapat kesempatan, Guan Yu memutuskan untuk meluncurkan serangannya sendiri melawan Cao Cao. Mi Fang, administrator Komando Nan (南郡; kini Wilayah Jiangling, Hubei) diperintahkan untuk tinggal di belakang untuk menjaga Jiangling (江陵) Kota Komando Nan, sementara Jenderal Shi Ren diperintahkan untuk menjaga Gong'an (公安; barat laut Wilayah Gong'an masa sekarang, Hubei). Kekuatan utama Liu Bei di wilayah itu dipimpin oleh Guan Yu sendiri dan digunakan untuk menyerang benteng-benteng Cao Cao di utara.
Dalam permainan video Koei: Dynasty Warriors 4 dan Dynasty Warriors 5, Guan Yu digambarkan secara bersamaan mempertahankan tanah Provinsi Jing dan mengepung Kastil Fan (Fancheng). Lokasi kedua adalah fokus dari babak ini. Cao Ren ialah komandan yang bertahan dan pasukan Sun Quan kemudian muncul sebagai bantuan untuk Cao Ren. Khususnya, Pang De mengambil peran penting dan merupakan lawan yang berbahaya bagi Guan Yu dan sekutunya dalam babak ini. Dalam Dynasty Warriors 7, pertahanan Fancheng berfokus pada sisi Wei, invasi Provinsi Jing berfokus pada sisi Wu, dan penarikan mundur ke Maicheng berfokus pada sisi Shu.
Pertempuran Biak merupakan bagian dari kampanye Niugini dalam Perang Dunia II. Pertempuran tersebut dilakukan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dari 27 Mei 1944 hingga 20 Juni 1944. Di sinilah untuk pertama kalinya pihak Jepang menggunakan taktik penyergapan dalam skala besar di Perang Dunia II.
Pulau Biak mendominasi jalan masuk ke Teluk Geelvink, di dekat ujung barat Pulau Papua. Pulau tersebut dipertahankan oleh 11.000 pasukan Jepang di bawah komando Kolonel Kuzume Naoyuki. Karena ia tak menyukai doktrin penghancuran musuh di tepi perairan, ia memutuskan untuk membiarkan pihak Amerika mendarat ke pantai tanpa perlawanan, supaya mereka tanpa curiga melenggang masuk ke dalam perangkap yang telah ia persiapkan bagi mereka. Keputusan ini menyebabkan kawasan di sekitar lapangan udara yang vital di pulau tersebut diubah menjadi jaringan bawah tanah militer penuh gua dan kubu pertahanan, yang berisi infantri, senapan otomatis, artileri, regu-regu mortir, dan tank-tank ringan Tipe 95 Ha-Go. Naoyuki juga membekali posisi-posisi tersebut dengan amunisi, makanan dan minuman dalam jumlah berlimpah agar bisa bertahan selama berbulan-bulan. Di Biak, air minum tak tersedia dalam jumlah banyak, sehingga di sana hawa panas dan kelembapan akan mengakibatkan korban dalam jumlah yang hampir sama dengan peluru musuh.
Dari satu pesan bertanggal 4 Mei 1944 yang berhasil disadap, diketahui bahwa intelijen Komando Pasukan Area ke-2 AD Kekaisaran Jepang menyangka pendaratan Sekutu berikutnya akan dilakukan di Biak, sehingga pendaratan pendahuluan dilakukan terhadap Wakde pada tanggal 17 Mei, dalam perjalanan menuju Biak. Di sana sebuah lapangan terbang yang lebih kecil tersedia, yang bisa digunakan sebagai pangkalan garis depan hingga lapangan-lapangan terbang di Biak siap digunakan. Walaupun prakiraan intelijen memperkirakan pasukan musuh berjumlah sekitar 5000 orang, sebuah pesan yang berhasil disadap pada akhir bulan April mengungkapkan jumlah pasukan berdasarkan kebutuhan ransum sekitar 10.800 orang, walau angka tersebut dianggap mewakili proyeksi kekuatan, dan bukan kekuatan riil saat ini.[1]
Resimen Infantri ke-162 dari Divisi ke-41 AD AS mendarat di Biak pada 27 Mei 1944, dan, pada pukul 5.15 sore, berhasil mendaratkan 12.000 orang pasukan, dengan 12 tank Sherman, 29 artileri lapangan, 500 kendaraan dan 2400 ton suplai. Salah satu suplai tersebut adalah es krim, yang langsung dibagikan pada hari pertama. Daratan pulau tersebut adalah karang yang keras, sehingga mesti diledakkan dengan dinamit supaya buldozer bisa bekerja di sana dengan lancar [2]
Mereka bergerak masuk ke dalam pulau dengan penuh percaya diri dalam keyakinan hanya akan menghadapi perlawanan ringan, hingga mereka mencapai lapangan terbang yang vital itu. Kemudian, dari dataran sekitar dan tepian-tepian puncak perbukitan di atas, muncul badai peluru dan proyektil meriam yang membuat mereka berlindung tanpa bisa ke mana-mana. Setelah malam tiba, barulah traktor-traktor amfibi berhasil mengeluarkan mereka dari jebakan tersebut. Pada hari berikutnya, mereka mencapai lapangan Mokmer, dengan sasaran lapangan Sorido. Pasukan Jepang tetap bertahan, dan menunda jatuhnya lapangan Mokmer selama sepuluh hari.[3]
Karena penundaan tersebut, markas Komando AU ke-5 di Nadzab mengatur agar Pulau Owi, yang berada di sebelah selatan pantai Bosnik (hanya beberapa kilometer sebelah timur Mokmer), direbut pada tanggal 2 Juni, lalu membangun dua landasan sepanjang 7.000 kaki di sana. Sebuah detasemen garis depan ditempatkan di sana bersama 15.000 orang pasukan, satu grup pesawat pengebom, dua grup pesawat pemburu, dan satu grup pesawat pemburu malam hari P-61 "Black Widow." [4]
Dari sebuah sadapan, Unit Nirkabel ke-1 RAAF mendapat informasi bahwa Letjen Takuzo Numata, Kepala Staf Komando Pasukan Area ke-2 AD sedang berada di pulau tersebut dalam sebuah tur inspeksi. Pangkatnya lebih tinggi dari Kolonel Kuzume, dan mengirim pesan yang memohon agar dirinya dievakuasi. Dirinya dievakuasi oleh pesawat amfibi dari Teluk Korin pada tanggal 20 Juni. Pada tanggal 22 Juni, Kolonel Kuzume membakar panji-panji kesatuan lalu melakukan hara kiri.[5]
Karena Laksamana Toyoda membutuhkan landasan-landasan di Biak untuk menyerang Armada Pasifik AS, ia melancarkan Operasi Kon, upaya untuk menyelamatkan Biak. Sebuah serangan pada tanggal 8 Juni berhasil dibendung oleh kekuatan laut Amerika dan Australia. Serangan pertama pada tanggal 1 Juni dibatalkan ketika sebuah pesawat Jepang memberi laporan keliru yang menyatakan kehadiran sebuah kapal induk AS, dan serangan ketiga pada tanggal 13 Juni dialihkan ke utara, ke Laud Filipina untuk menyerang kapal-kapal induk Armada ke-5 AS; serangan ini mestinya mengikutsertakan kapal-kapal tempur super Jepang, Yamato dan Musashi.[6]
Pasukan Amerika berhasil menembus pertahanan Jepang pada tanggal 22 Juni, di mana daerah pesisir dari Bosnik hingga Sorido berhasil direbut, termasuk tiga lapangan terbang di Sorido (4500 kaki), Borokoe (4500 kaki), dan Mokmer (8000 kaki). Masih tersisa sekitar 3.000 pasukan Jepang yang mencoba menggalang serangan balik penghabisan hingga 17 Agustus.[7] Bleakley mengenang bahwa dalam sebuah gubuk bambu berisi peralatan rekreasi Jepang, semacam PX atau toko khusus militer yang memuat "lusinan pasang sepatu skating" – "di sebuah pulau antah berantah di khatulistiwa!". Selama beberapa waktu ia menyimpan sepasang sebagai suvenir, dan berkata bahwa para prajurit Jepang diberitahu kalau mereka berada di sebuah pulau lepas pantai San Francisco, dan tak lama lagi akan menginvasi Amerika. Ia berada bersama Unit Nirkabel ke-1 RAAF, satu-satunya kesatuan Australia di pulau tersebut.[8]
Bagi pihak Amerika, perebutan Pulau Biak memakan korban 474 orang tewas dan 2.428 luka-luka. Pihak Jepang kehilangan 6.000 orang tewas dan 450 orang tertawan, sehingga lebih dari 4.000 orang lainnya tak diketahui nasibnya atau hilang dalam tugas dan diasumsikan tewas. Artinya, mereka dimusnahkan. Setelah itu, tak ada lagi serangan Banzai tanpa pikir panjang dan penuh emosi, yang biasanya membuat kekuatan Jepang terkuras hingga pupus. Biak merupakan pertempuran yang melelahkan dan alot. Taktik penyergapan atau menunda-nunda ini diulangi di Pertempuran Peleliu, Pertempuran Okinawa, dan Pertempuran Iwo Jima, yang sebelumnya diperkirakan Korps Marinir AS dan AD AS bisa dimenangkan hanya dalam beberapa hari atau minggu saja, tetapi justru berlanjut hingga berbulan-bulan, dengan kerugian yang sangat besar, bukan hanya karena menghabiskan waktu yang berharga, tetapi juga jatuhnya korban jiwa dan peralatan yang jauh lebih berharga.
Di pantai Paray, di antara desa Mokmer dan Bosnik, sekitar tujuh kilometer dari Biak Kota, terdapat sebuah monumen peringatan Perang Dunia II. Monumen ini dibangun pada tahun 1994 lewat kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang. Ada pula gua Jepang Binsari, yang terletak di Desa Sumberker, Samofa, sekitar lima kilometer dari Biak Kota.[9]
KOMPAS.com - Pertempuran Biak merupakan peperangan antara Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) dan tentara Kekaisaran Jepang yang berlangsung di Biak, Papua.
Perang yang berlangsung sejak 27 Mei hingga 20 Juni 1944 ini adalah bagian dari kampanye Niugini semasa Perang Dunia II.
Perang Biak adalah bagian dari upaya pembersihan Jenderal Douglas MacArthur atas Papua dari kekuatan Jepang.
Pertempuran ini dimenangkan oleh Sekutu, yang kemudian menggunakan Pulau Biak untuk mendukung operasi di beberapa wilayah di Pasifik.
Baca juga: L Rumkorem, Pemimpin Perlawanan terhadap Jepang di Biak
Pulau Biak terletak di utara Provinsi Papua, berdekatan dengan Sarmi, di mana Jepang telah memusatkan basis pasokan dan lapangan terbangnya.
Pada 1944, lokasinya dinilai sangat cocok untuk pembangunan lapangan terbang. Sehingga, pihak Sekutu, yang mulai bergerak ke Filipina, berencana merebut pulau ini dari Jepang.
Sekutu memperkirakan ada sekitar 2.000 tentara Jepang yang ditugaskan menjaga Pulau Biak.
Padahal, saat itu, Pulau Biak dikuasai oleh 11.400 tentara Jepang di bawah komando Kolonel Kuzume Naoyuki.
Kolonel Kuzume, yang telah mengetahui kedatangan pasukan Sekutu, memakai strategi tipuan.
Ia akan membiarkan tentara Sekutu mendarat di Biak tanpa hambatan, supaya mereka jatuh ke perangkap yang telah disiapkan.
Baca juga: Pertempuran Morotai: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Perangkap yang dimaksud adalah gua-gua yang terletak di sebelah barat Mokmer dan di sebelah timur Bosnek.
Jepang menjadikan gua-gua tersebut sebagai kotak-kotak pertahanan yang dipenuhi dengan penembak, senjata otomatis, artileri, baterai mortir, dan satu kompi tank.
Dalam perkembangannya, mata-mata Sekutu akhirnya meralat informasi sebelumnya dan mengabarkan bahwa jumlah tentara Jepang di Biak diperkirakan mencapai 10.800 orang.
Tentara Sekutu, yang berkumpul di daerah Teluk Humboldt, diberangkatkan pada 25 Mei 1944. Mereka dilindungi oleh pasukan angkatan udara dan angkatan laut.
Perjuangan kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai pertempuran heroik yang memainkan peran krusial dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang. Berikut adalah beberapa nama pertempuran penting yang menggambarkan semangat dan keberanian para pejuang Indonesia:
Pertempuran Jatiwangi (1946)
Pertempuran Jatiwangi terjadi di kawasan Jatiwangi, Jawa Barat. Pertempuran ini merupakan bagian dari perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan terhadap upaya penguasaan kembali oleh Belanda. Keberanian para pejuang dalam pertempuran ini sangat berpengaruh dalam perjuangan kemerdekaan di Jawa Barat.
Pertempuran Medan Area (1945-1947)
Pertempuran Medan Area adalah serangkaian konflik yang berlangsung di Sumatera Utara antara pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menguasai Medan dan sekitarnya setelah proklamasi kemerdekaan. Pertempuran ini menunjukkan perjuangan gigih rakyat Sumatera Utara dalam melawan kolonialisme.
Pertempuran Yogyakarta (19-21 Desember 1948)
Pertempuran Yogyakarta merupakan bagian dari Agresi Militer Belanda II, di mana Belanda mencoba untuk merebut Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Pasukan Indonesia berjuang keras untuk mempertahankan kota ini, dan meskipun kota jatuh ke tangan Belanda untuk sementara waktu, pertempuran ini memperkuat tekad rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Pertempuran Tarakan (1945)
Pertempuran Tarakan adalah salah satu pertempuran di Kalimantan, di Tarakan, antara pasukan Jepang yang masih ada dan pasukan Indonesia. Pertempuran ini penting karena menunjukkan perlawanan terhadap kekuatan asing di wilayah timur Indonesia, khususnya di Kalimantan.
Pertempuran Bandung Lautan Api (23-24 Maret 1946)
Pertempuran Bandung Lautan Api terjadi ketika pasukan Sekutu yang dibantu oleh Belanda mencoba mengambil alih Bandung. Untuk mencegah kota tersebut jatuh ke tangan musuh, para pejuang dan warga Bandung terpaksa membakar kota mereka sendiri. Pertempuran ini menggambarkan pengorbanan besar yang dilakukan demi kemerdekaan.
Pertempuran Surabaya (10 November 1945)
Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar dan paling terkenal dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 10 November 1945, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Inggris dan Belanda melawan para pejuang kemerdekaan Indonesia di Surabaya. Pertempuran ini dikenal sebagai Hari Pahlawan dan menandai komitmen kuat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pertempuran Tanjung Priok (1946)
Pertempuran Tanjung Priok terjadi di pelabuhan utama Jakarta, Tanjung Priok, antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda yang ingin merebut kendali atas pelabuhan penting ini. Pertempuran ini sangat signifikan karena Tanjung Priok adalah pusat logistik penting untuk pasukan dan ekonomi Indonesia.
Pertempuran Banten (1946)
Pertempuran Banten di Jawa Barat melibatkan pasukan Indonesia dan Belanda. Pertempuran ini menyoroti ketahanan rakyat Banten dalam mempertahankan kemerdekaan mereka dari penjajah Belanda.
KOMPAS.com - Pertempuran Biak merupakan peperangan antara Angkatan Darat Amerika Serikat (AS) dan tentara Kekaisaran Jepang yang berlangsung di Biak, Papua.
Perang yang berlangsung sejak 27 Mei hingga 20 Juni 1944 ini adalah bagian dari kampanye Niugini semasa Perang Dunia II.
Perang Biak adalah bagian dari upaya pembersihan Jenderal Douglas MacArthur atas Papua dari kekuatan Jepang.
Pertempuran ini dimenangkan oleh Sekutu, yang kemudian menggunakan Pulau Biak untuk mendukung operasi di beberapa wilayah di Pasifik.
Baca juga: L Rumkorem, Pemimpin Perlawanan terhadap Jepang di Biak
Pulau Biak terletak di utara Provinsi Papua, berdekatan dengan Sarmi, di mana Jepang telah memusatkan basis pasokan dan lapangan terbangnya.
Pada 1944, lokasinya dinilai sangat cocok untuk pembangunan lapangan terbang. Sehingga, pihak Sekutu, yang mulai bergerak ke Filipina, berencana merebut pulau ini dari Jepang.
Sekutu memperkirakan ada sekitar 2.000 tentara Jepang yang ditugaskan menjaga Pulau Biak.
Padahal, saat itu, Pulau Biak dikuasai oleh 11.400 tentara Jepang di bawah komando Kolonel Kuzume Naoyuki.
Kolonel Kuzume, yang telah mengetahui kedatangan pasukan Sekutu, memakai strategi tipuan.
Ia akan membiarkan tentara Sekutu mendarat di Biak tanpa hambatan, supaya mereka jatuh ke perangkap yang telah disiapkan.
Baca juga: Pertempuran Morotai: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Perangkap yang dimaksud adalah gua-gua yang terletak di sebelah barat Mokmer dan di sebelah timur Bosnek.
Jepang menjadikan gua-gua tersebut sebagai kotak-kotak pertahanan yang dipenuhi dengan penembak, senjata otomatis, artileri, baterai mortir, dan satu kompi tank.
Dalam perkembangannya, mata-mata Sekutu akhirnya meralat informasi sebelumnya dan mengabarkan bahwa jumlah tentara Jepang di Biak diperkirakan mencapai 10.800 orang.
Tentara Sekutu, yang berkumpul di daerah Teluk Humboldt, diberangkatkan pada 25 Mei 1944. Mereka dilindungi oleh pasukan angkatan udara dan angkatan laut.
Setelah serangan udara dilakukan selama 45 menit, Angkatan Darat AS berhasil mendarat di Biak pada 27 Mei 1944.
Pasukan yang pertama datang adalah Resimen Infanteri ke-162, yang kemudian disusul oleh divisi lainnya, termasuk Resimen Infanteri 163 dan 186.
Baca juga: Pertempuran Teluk Milne: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Pada sore hari, sebanyak 12.000 tentara Sekutu sudah mendarat dengan 12 tank M4 Sherman, 29 meriam lapangan, 500 kendaraan dan 3.000 ton perbekalan.
Jepang sempat memberi serangan kecil terhadap pangkalan AS, tetapi bom yang dijatuhkan gagal meledak.
Sekutu lantas menembak balik Jepang, yang menghancurkan tiga pesawat dan satu rusak parah.
Setelah itu, Sekutu bergerak masuk ke pedalaman, dan masuk dalam perangkap Jepang. Mengetahui hal itu, pasukan yang terjebak segera dibebaskan dan diperintahkan untuk mundur.
Pada 5 Juni, Sekutu bergerak menuju Mokmer dan berhasil menguasainya secara penuh setelah meladeni perlawanan Jepang yang berlangsung sekitar satu minggu.
Di saat yang sama, bantuan pasukan Jepang dari berbagai wilayah di sekitarnya segera dikerahkan untuk memperkuat Biak.
Baca juga: Pertempuran Rabaul: Latar Belakang, Kronologi, dan Akhir
Namun, beberapa gelombang bantuan yang disusun Jepang terus dikacaukan oleh Sekutu, sehingga banyak yang tidak sampai di Biak.
Setelah menghadapi serangan bertubi-tubi dari Sekutu, pada 20 Juni 1944, Kolonel Kuzume menegaskan kepada anak buahnya bahwa upaya mempertahankan Biak akan menjadi pertempuran terakhir mereka.
Kolonel Kuzume kemudian melakukan hara-kiri (ritual bunuh diri Samurai di Jepang), menunjukkan kepada anak buahnya bahwa ia tidak takut mati.
Pada 22 Juni, AS telah berhasil menerobos pertahanan Jepang dan merebut sebagian besar wilayah Biak.
Kendati demikian, terdapat 3.000 sisa pasukan Jepang yang terus melancarkan perlawanan hingga Agustus.
Baca juga: Pertempuran Selat Badung: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak
Pertempuran Biak dimenangkan oleh pihak Sekutu, yang menewaskan 4.700 pasukan Jepang dan 200 lainnya ditangkap.
Selain itu, sekitar 3.000 tentara Jepang lainnya yang menolak untuk menyerah, banyak yang menghadapi kematian akibat penyakit dan kelaparan di bulan-bulan berikutnya.
Sementara di pihak Sekutu, ada 438 pasukan tewas dan 2.361 terluka.
Setelah memenangkan pertempuran, Sekutu membebaskan sekitar 600 pekerja paksa India dan Jawa dari tahanan Jepang.
Sekutu kemudian mengembangkan Biak menjadi basis logistik dan membangun beberapa lapangan terbang di daerah tersebut.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertemuan keduanya pun menghasilkan terjadinya gencatan senjata.
Akan tetapi, pada 31 Oktober 1945, tersiar kabar tentang hilangnya Brigjen Mallaby yang ternyata tewas terbunuh.
Sebagai tindak lanjut dari kabar tersebut, pihak Inggris, Mayir Jenderal Manserg, memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya pada 9 November 1945.
Namun, hingga tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi WIB, tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang menyerahkan diri.
Akibatnya, pertempuran pun pecah. Para pejuang Indonesia berusaha melawan Sekutu menggunakan senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya pun mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini telah memakan korban jiwa dari pihak Indonesia sebanyak 20.000 orang, sedangkan dari pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.
Baca juga: Mohammad Toha, Tokoh Penting Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tanggal 13 Oktober 1945, ketika pasukan Sekutu tiba di Kota Bandung dengan diboncengi oleh NICA.
Setibanya di Bandung, pasukan Sekutu langsung menguasai kota dengan alasan melucuti dan menawan tentara Jepang.
Kemudian, pada 27 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat Bandung segera meninggalkan area Bandung Utara, tetapi ultimatum itu tidak dihiraukan.
Sekutu yang mulai terdesak pun kembali mengeluarkan ultimatum kedua agar selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 24.00, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung sejauh 11 kilometer.
Ultimatum ini lantas mendongkrak semangat perlawanan para pejuang Indonesia.
Pasukan Indonesia membuat strategi dengan merancang operasi bernama Bumi Hangus.
Begitu penduduk meninggalkan Bandung, operasi Bumi Hangus langsung dijalankan dengan membakar bangunan rumah atau gedung di Bandung.
Prasasti yang menjadi bukti terjadinya Pertempuran Medan Area
Dalam sekejap, Kota Bandung sudah diselimuti oleh asap gelap dan pemadaman listrik.
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menyerang Sekutu secara bergerilya.
Baca juga: Pertempuran Medan Area: Latar Belakang, Konflik, dan Dampak
Pertempuran Medan Area terjadi tanggal 13 Oktober 1945 hingga April 1946, setelah tentara Sekutu yang dipimpin oleh TED Kelly mendarat di Medan.
Kedatangan Sekutu dan NICA ini memancing kemarahan warga Indonesia.
Terlebih, ketika salah satu anggota NICA disebut merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang digunakan oleh seorang pemuda Indonesia.
Menindaklanjuti hal ini, pada 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan Sekutu dan NICA.
Inggris kemudian mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia untuk segera menyerahkan senjata kepada Sekutu, tetapi lagi-lagi ultimatum itu tidak diindahkan.
Puncak pertempuran terjadi tanggal 10 Desember 1945, di mana Sekutu dan NICA menyerang Kota Medan secara habis-habisan.
Bulan April 1946, Sekutu sudah berhasil menguasai Kota Medan.
Baca juga: Kronologi Agresi Militer Belanda I
Setelah proklamasi kemerdekaan berlangsung, Indonesia masih dihantui oleh Belanda.
Belanda terus berusaha merebut kembali kemerdekaan dengan melakukan sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I.
Agresi Militer Belanda I terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, yang dipimpin oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook.
Tujuan Agresi Militer Belanda I adalah membangkitkan perekonomian Belanda dengan cara menguasai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Target utama Belanda ialah Sumatera dan Jawa untuk menguasai sumber daya alam di sana.
Di Pulau Jawa, Belanda menyerang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Indonesia mengirim pasukan Siliwangi untuk melawan tentara Belanda.
Salah satu strategi yang digunakan oleh pasukan Siliwangi adalah melakukan serangan gerilya pada sektor-sektor penting, seperti jalan-jalan penghubung, jalur logistik, dan pos Belanda.
Pada praktiknya, serangan gerilya pasukan Siliwangi di Jawa Barat berhasil mengalahkan usaha perkebunan yang menjadi sektor ekonomi penting bagi Belanda.
Agresi Militer Belanda I berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1947.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Belanda mengingkari perjanjian Renville dengan melancarkan serangan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, di Yogyakarta.
Pada Minggu pagi 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang Kota Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Belanda melakukan serangan udara mendadak yang membuat pasukan Indonesia kewalahan.
Hanya dalam waktu beberapa jam, sore hari pada tanggal yang sama, Yogyakarta sudah berhasil diambil alih oleh Belanda.
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman memberikan perintah kilat melalui radio yang bertujuan untuk melawan musuh dengan cara perang rakyat semesta.
Maksudnya, para pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayahnya masing-masing dan membentuk kekuatan.
Setelah kekuatan terbentuk, pertempuran dimulai antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda.
Agresi Militer Belanda II telah banyak memakan korban jiwa dan kerusakan besar bagi pihak Indonesia.
Saking besarnya, aksi penyerangan ini sampai terdengar ke kancah internasional, termasuk Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, AS memutuskan untuk menghentikan bantuan dana kepada Belanda. AS dan PBB juga mendesak agar Belanda segera melakukan gencatan senjata dan menggelar perundingan damai.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, Agresi Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen.
Baca juga: Hasil Konferensi Meja Bundar yang Tidak Dapat Direalisasikan Belanda
Akhir perang kemerdekaan Indonesia adalah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Sebelum penyerahan itu tercapai, Indonesia dan Belanda lebih dulu berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus hingga 2 November 1949.
KMB dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada akhirnya, tanggal 2 November 1949, Indonesia dan Belanda berhasil mencapai kesepakatan dengan menandatangani persetujuan KMB.
Salah satu isi KMB adalah Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada RI pada Desember 1949, tepatnya tanggal 27 Desember.
UNTUK pertama kali sejak dua dekade, Prabowo Subianto bisa masuk kembali Amerika Serikat (AS). Sejak tahun 2000, Prabowo kena “cekal” masuk Amerika.
Larangan itu sekonyong-konyong dicabut pemerintah AS selepas Prabowo dilantik jadi menhan pada Oktober 2019. Dalam kapasitasnya sebagai menteri pertahanan (menhan) inilah ia bersua koleganya, Menhan AS Mark Esper di Pentagon (markas Kemenhan Amerika), Arlington County, Virginia, 16 Oktober 2020 guna membahas tiga hal.
Menukil laman resmi kemenhan AS pada 16 Oktober 2020, tiga hal yang dibicarakan Esper dengan Prabowo yakni: dukungan modernisasi alutsista Indonesia, niat kerjasama keamanan maritim, dan kesediaan Indonesia membuka akses untuk mencari para kombatan Amerika yang masih hilang dari masa Perang Dunia II.
“Menhan Esper dan Menhan Prabowo menandatangani Memorandum of Intent (semacam kesepakatan menuju perjanjian penuh, red.) mempercepat upaya Defense Prisoner of War/Missing in Action Accounting Agency (DPAA/Dinas Tawanan Perang dan Prajurit yang Hilang) memulai kembali tugasnya di Indonesia untuk mencari sisa-sisa personel Amerika yang hilang di Indonesia selama Perang Dunia II,” ungkap Kemenhan AS.
Sejak 1942, wilayah Indonesia jadi salah satu panggung terpenting dalam Perang Dunia II di front Pasifik antara Sekutu dan Jepang. Baik di darat, laut, maupun udara, pasukan Amerika terlibat dalam sejumlah pertempuran, mulai dari Laut Jawa, Laut Makassar, hingga Papua.
Satu contoh terpenting adalah para awak kapal penjelajah berat USS Houston (CA-30). Setelah kapal itu karam oleh torpedo Jepang dalam Pertempuran Selat Sunda (28 Februari-1 Maret 1942), sekira 696 krunya masih hilang di dasar laut. Upaya untuk mengenang mereka sempat dilakukan dua kali oleh Angkatan Laut (AL) Amerika lewat upacara larung bunga di Selat Sunda pada Juni 2014 dan Maret 2019.
“Kami senang dan merasa terhormat bisa mengenang mereka. Sampai sekarang banyak pahlawan perang Amerika yang hilang di sana,” tutur komandan kapal penyapu ranjau Amerika USS Chief (MCM-14) Mayor Laut Frederick Crayton saat hadir dalam diskusi bertajuk Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II di @America, Jakarta, 26 Februari 2019.
Di wilayah Indonesia timur, sejak 1944 pasukan Amerika sudah berada dalam posisi ofensif. Mereka terus mendesak pertahanan-pertahanan Jepang di pulau-pulau sekitar Papua. Salah satunya di Pulau Biak.
Dalam situs resmi DPAA, per 16 Oktober 2020, total kombatan Amerika yang masih dinyatakan hilang (Missing in Action/ MIA) dalam Perang Dunia II mencapai 72.559 orang. Lebih dari setengahnya, 47.163, hilang di beragam front Pasifik. Di Pertempuran Pulau Biak, 13 personil AS tercatat masih MIA.
Pertempuran Pulau Biak (27 Mei-17 Agustus 1944) merupakan satu dari rangkaian pertempuran dalam kampanye Sekutu di Papua Barat yang dikomando Jenderal Douglas MacArthur. Kampanye ofensif itu dimulai dengan pendaratan di Aitape dan Hollandia (kini Jayapura) pada 22 April, lalu dilanjutkan dengan Pertempuran Bukit Pohon Tunggal (Wakde-Sarmi) pada 17 Mei, dan Pertempuran Pulau Wakde pada 18 Mei sebelum Sekutu loncat ke Pulau Biak.
Nyaris tak ada hal yang diketahui Kolonel Harold Riegelman tentang Pulau Biak. Perwira unit kimia dari Corps I Angkatan Darat (AD) Amerika itu ditugaskan ke Pulau Biak pada pertengahan Juni 1944. Ia harus mengevaluasi mengapa manuver ofensif dua divisi AD Amerika yang diturunkan hampir sebulan lalu tak jua mencapai tujuan strategisnya: membangun lapangan terbang guna menyokong kampanye ofensif ke Kepulauan Mariana.
“Yang saya tahu tentang Biak hanyalah ia sebuah pulau satu derajat ke selatan dari garis Khatulistiwa, salah satu pulau Gugusan Schouten (kini Kepulauan Biak) yang terletak di utara Teluk Geelvink (Teluk Cendrawasih) yang menghadap ke arah ujung barat Papua,” tulisnya dalam Caves of Biak: An American Officer’s Experiences in the Southwest Pacific.
Dari serangkaian pertempuran dalam Kampanye Papua Barat, Biak jadi satu dari sedikit sasaran yang akan direbut sepenuhnya oleh serdadu Amerika. Penyerbuan Biak tak seperti pertempuran-pertempuran lain yang turut mengikutsertakan pasukan Australia dan Selandia Baru. Dalam Pertempuran Biak, Australia sekadar membantu sokongan bombardir lewat kapal-kapalnya, seperti kapal penjelajah HMAS Australia, HMAS Shropshire, atau kapal perusak HMAS Warramunga.
Jenderal McArthur, panglima Sekutu di Pasifik, menyerahkan tanggungjawab ofensif ke Biak ke pundak Panglima AD ke-6 Amerika Letjen Walter Krueger. Krueger lantas mengandalkan Komandan Korps I Letjen Robert Lawrence Eichelberger, atasan Riegelman, untuk merancang skema ofensif di lapangan.
Jenderal MacArthur berharap operasi di Biak bisa rampung dalam kurun satu minggu. Tingginya kepercayaan diri MacArthur tak lepas dari laporan intelijen Sekutu yang menguraikan Biak hanya dipertahankan oleh sekira dua ribu serdadu Jepang. Dari laporan intelijen di darat dan pengintaian udara, disebutkan dua ribu personil Jepang itu hanya dipimpin kolonel AD Kozume Naoyuki dan Laksamana AL Sadatoshi Senda.
Namun, menurut sejarawan militer Laksamana Samuel Eliot Morison, ada yang tak diketahui MacArthur dan stafnya. Jepang, kata Morison dalam New Guinea and the Marianas: March 1944-August 1944, ternyata masih bisa mengirim ribuan pasukan bantuan dari Mindanao, Filipina ke Biak lewat Operasi KON yang dipimpin Laksamana Naomasa Sakonju.
“Yang terlupakan oleh Sekutu saat mendarat di Biak pada 27 Mei adalah, hari itu menjadi perayaan ke-39 Pertempuran Tsushima. Peristiwa yang sangat dipuja AL Jepang. Saat Sekutu sudah mendarat di Biak pada 27 Mei, AL Jepang bereaksi ikut mempertahankan dengan niat menyambung kejayaan di Tsushima,” tulis Morrison.
Sesuai skema yang dibuat, pasca-bombardir pembuka dari laut, pasukan Sekutu mendarat di Biak pada 27 Mei 1944 di empat titik pendaratan Pantai Bosnek. Pasukan itu berkekuatan 12 ribu prajurit Divisi Infantri ke-41 AD yang merupakan pasukan baru gabungan dari garda nasional negara bagian Oregon, Montana, Washington, dan Idaho.
Pasukan pendarat itu diikuti 12 tank medium M4 Sherman. Mereka tak menemui perlawanan berarti saat mendarat. Beberapa hari setelah pendaratan, para perwira Amerika baru insyaf bahwa jumlah pasukan Jepang jauh lebih banyak dari informasi awal yang mereka terima.
Baca juga: Orang Indonesia di Palagan Pasifik
Perlawanan alot baru ditemui pasukan Amerika kala mencapai Lapangan Terbang Mokmer (kini Bandara Frans Kaisiepo), 10 hari setelah pendaratan. Selain kekuatan pasukan Jepang (11 ribu) ternyata lima kali lipat lebih besar dari laporan awal intelijen (dua ribu), para serdadu Jepang dengan pandai menyembunyikan posisi mereka di dalam gua-gua yang mengarah ke lapangan terbang. Belum lagi tambahan ribuan pasukan bantuan yang datang sejak 31 Mei.
“Rencana Operasi KON adalah mengantar 2.500 pasukan tambahan dari Brigade Amfibi ke-2 dari Mindanao ke Biak dengan kapal-kapal pendaratan. Laksamana Naomasa Sakonju juga mengirim kapal penjelajah Kinu, Myoko, dan Haguro; kapal perusak Shikinami, Uranami, dan Shigure; serta kapal tempur Fuso yang berangkat dari Zamboanga pada 31 Mei dan tiba di Biak pada 3 Juni,” sambung Morrison.
Pasukan Jepang, terutama 1.200 serdadu Resimen Infantri ke-222 di bawah Kolonel Kuzume, amat pandai memanfaatkan bentang alam. Unit-unit mortir dan meriamnya dengan baik menyamarkan diri di jaringan-jaringan gua di barat dan timur Pulau Biak. Merekalah yang membuat pasukan lawan berdarah-darah sehingga pertempuran berjalan alot.
“Kuzume paham bahwa selama dia bisa ulet mempertahankan lembah dan bukit di utara Mokmer, dia bisa mencegah Hurricane Task Force (semacam pasukan zeni Amerika) untuk memperbaiki dan menggunakan lapangan terbang Borokoe dan Sorido. Ia tempatkan pasukan gabungan resimennya dan tentara AL Jepang di Kantung Ibdi dan rangkaian gua di timur pulau,” singkap Robert Ross Smith dalam The War in the Pacific: The Approach to the Philippines.
Setelah 10 hari pertempuran tetap berjalan alot alias lewat dari target awal seminggu yang diberikan, MacArthur pun tak puas. Ia memerintahkan Jenderal Krueger mengganti Fuller. Atas rekomendasi Eichelberger, Divisi ke-42 berganti pimpinan ke pundak Brigjen Jens Anderson Doe yang sebelumnya komandan Resimen Infantri ke-136 Divisi ke-42.
Jenderal Doe segera merancang ofensif yang lebih agresif untuk menyisir setiap jaringan terowongan dan gua-gua di pedalaman Biak. Dia mengandalkan apa saja yang bisa digunakan, mulai dari pelontar api (flame thrower), granat, hingga bensin untuk menyulut api hingga ke perut gua. Efek ledakan granat yang dihimpun dalam sebuah tas bisa lebih mengerikan daripada bensin dan pelontar api.
“Setelah sebuah gua meledak, seorang prajurit masuk untuk melihat dampaknya. Beberapa menit dia keluar dengan mengalami pusing dan muntah-muntah. ‘Ya Tuhan, pemandangan (di dalam) sudah seperti neraka. Potongan-potongan tubuh memenuhi dasar gua! Perut-perutnya menganga mengeluarkan isi-isi perutnya. Darah mengalir dari telinga, hidung, mulut, dan mata para jasad tentara Jepang. Sungguh menjijikkan!’” tulis Howard Oleck dalam Eye-Witness World War II Battles.
Pada 20 Juni, pasukan Amerika sudah bisa maju dan merebut landasan terbang Borokoe dan Sorido. Saat itu masih tersisa seribu pasukan Jepang yang bertahan di kubu terakhir dalam gua-gua di timur pulau. Beberapa dari mereka yang mulai putus asa lalu melancarkan serangan bunuh diri.
“Suatu malam sekitar 200 tentara Jepang menyerang yang kemudian semuanya tumbang dengan senapan mesin. Seorang prajurit Amerika mengenang: ‘Itu seperti eksekusi massal. Bunuh diri massal dari pasukan yang memang ingin mati,’” tambah Oleck.
Untuk mematahkan pertahanan Jepang yang keuletan, pasukan Amerika mempertimbangkan penggunaan senjata kimia, terutama senjata gas beracun yang dirampas dari gua-gua yang ditinggalkan pasukan Jepang. Riegelman mengisahkan soal itu dalam bukunya.
“Bagaimana, perwira kimia, apa yang Anda dapatkan dari gua-gua itu?” tanya sang perwira senior.
“Kami mendapat banyak gas yang tak digunakan oleh Jepang, Pak,” jawabnya.
“Berapa banyak yang Anda dapatkan?”
“Kami mengambil dengan jumlah banyak yang kebanyakan asap beracun.”
“Apakah bisa gas itu dipakai untuk melawan Jepang, walau beberapa staf saya tak setuju?”
“Pak, menurut saya staf Anda benar dan saya yakin Anda akan dibebastugaskan dalam 24 jam setelah Anda menggunakan gas. Walau pada akhirnya kita akan kehilangan lebih banyak waktu dan korban jika tak memakai gas,” jelas Riegelman.
Pertimbangan memakai senjata kimia itu akhirnya tak lagi dijadikan isu. “Saya tak pernah menyangka akan mendapati suatu hari di mana saya harus menentang penggunaan gas terhadap Jepang, terutama senjata gas mereka sendiri. Tetapi saya pikir itu adalah tindakan yang benar,” kenang Riegelman.
Lebih dari 700 personil Jepang yang tersisa tetap melakukan perlawanan sengit dengan mengandalkan alam. Sikap itu membuat banyak perwira Amerika kagum pada keteguhan hati dan keuletan strategi para personil pertahanan yang dipimpin Kolonel Kuzume.
“Menyadari posisinya yang tanpa harapan, perwira yang berani ini (Kolonel Kuzume) mampu membangkitkan semangat resimennya (Resimen Infantri ke-222). Entah kemudian dia bunuh diri atau tewas dalam pertempuran, namun kematiannya menandakan berakhirnya pertahanan efektif dan ulet pasukannya,” tandas Morison.
Baca juga: Sepakterjang Batalyon Amerika yang Hilang
Seluruh Pulau Biak akhirnya bisa direbut pasukan Amerika pada 17 Agustus 1944. Namun, tujuan strategis MacArthur untuk bisa menggunakan Biak sebagai basis sokongan udara guna kampanye di Kepulauan Mariana tak tercapai. Lapangan-lapangan udara di Biak baru bisa digunakan pada September 1944 untuk menyokong ofensif via udara ke Kepulauan Palau dan Mindanao.
Dalam 52 hari Pertempuran Pulau Biak, pihak Jepang kehilangan 4.700 prajuritnya dan 200 lainnya tertawan. Sisa pasukannya yang terluka sampai sekarang belum diketahui. Sementara, Amerika meski 438 prajuritnya tewas, namun lebih dari dua ribu serdadunya terluka. Sekira 14 personelnya hingga sekarang statusnya masih MIA alias hilang tanpa teridentifikasi.
KOMPAS.com - Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi sejak 1945 hingga 1949, yang menjadi puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Meskipun sudah resmi merdeka sejak 17 Agustus 1945, masih banyak pihak yang belum bisa menerima kemerdekaan Indonesia, termasuk Belanda dan Sekutu.
Akibatnya, pertempuran pun terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban mencapai ribuan jiwa.
Baca juga: Dampak Negatif Konferensi Meja Bundar
Latar belakang terjadinya perang kemerdekaan Indonesia adalah keinginan Belanda dan Sekutu untuk kembali menguasai Nusantara.
Satu bulan setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya tanggal 29 September 1945, Sekutu datang.
Sekutu yang dalam hal ini adalah Inggris, sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk melihat kondisi di Indonesia setelah kependudukan Jepang pada 1942 silam.
Rupanya, saat itu, Sekutu datang dengan diboncengi oleh NICA (Nederlands Indies Civil Adminstration), yaitu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Inggris yang ditugaskan ke Indonesia ternyata diam-dian sudah mengadakan perjanjian rahasia bersama Belanda yang disebut Civil Affair Agreement pada 24 Agustus 1945 silam.
Isi Civil Affair Agreement adalah tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Sekutu mendarat pertama kali di Tanjung Priok, yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan baik.
Namun, setelah mengetahui bahwa Sekutu datang dengan diboncengi NICA yang secara gamblang ingin kembali menegakkan kekuasaan di Indonesia, maka reaksi pihak Indonesia terhadap Sekutu berubah.
Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran di berbagai daerah di Indonesia.
Suasana sekitar saat Pertempuran Ambarawa terjadi
Baca juga: Kronologi Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 Oktober 1945, ketika Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Bethel mendarat di Semarang.
Setelah itu, pasukan Sekutu yang sedang berjalan menuju ke Magelang pun membuat kerusuhan.
Awalnya, Bethel diperkenankan untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Dia juga diizinkan mengevakuasi 19.000 interniran Sekutu yang ada di Kamp Banyu Biru Ambarawa dan Magelang.
Akan tetapi, ternyata pasukan Sekutu membelot dengan mempersenjatai para tawanan Jepang.
Pada 26 Oktober 1945, insiden pun pecah di Magelang, yang kemudian berlanjut antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris.
Orange Hotel di Surabaya, lokasi perobekan bendera Belanda ketika Pertempuran Surabaya.
Puncak pertempuran terjadi pada 20 November 1945, di Ambarawa antara pasukan TKR yang dipimin Mayor Sumarto dengan pasukan Inggris.
Aksi tembak-menembak dan pengeboman terus terjadi selama berhari-hari.
Kendati begitu, pada akhirnya pasukan TKR berhasil meluluhlantakkan pasukan Inggris pada 12 Desember 1945.
Pada akhirnya, pasukan Inggris yang sudah sangat terdesak bersedia meninggalkan Ambarawa dan mundur ke Semarang pada 15 Desember 1945.
Baca juga: Pertempuran Ambarawa: Latar Belakang, Tokoh, Akibat, dan Akhir
Tentara Inggris tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby.
Kemudian, pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung-gedung pemerintahan di Surabaya yang dijaga oleh rakyat dan para pemuda Indonesia.
Lebih lanjut, pada 29 Oktober 1945, atas permintaan Letjen Christison, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Pertempuran di Palembang (1946)
Pertempuran di Palembang melibatkan bentrokan antara pasukan Indonesia dan Belanda di Sumatera Selatan. Pertempuran ini adalah bagian dari upaya Belanda untuk menguasai kembali wilayah-wilayah yang telah dimerdekakan. Perjuangan di Palembang menunjukkan kekuatan dan semangat perlawanan rakyat Sumatera Selatan.